55.
Jakarta, 04:14 am.
*fuuuh … adem..
Bayangkan jikalau tiupan itu adalah benar udara sungguhan yang dihembuskan dari mulut yang jujur, penuh ketulusan, dan dapat disentuh…, bukan himpunan piksel yang ditransfer lewat jaringan simulasi tak teraba, tak beremosi, dan artifisial…(!?)
Bayangkan jika dahi yang mengernyit hingga larut malam—ng…, saya kira memang begitu(?)—itulah yang menyambut apa yang dapat ditangkapnya sebagai tenteram (lantas bersama senyum ia terpejam)…,
…bukan ditangkap oleh mata yang sayup-sayup dan enggan bertahan—kali ae ‘mang begitu, ye, kaaan…? Bisa jaddeeeiii…(?!)—menyuntuki kelam saat menghadapi layar supra dan artifisialnya yang tergenggam (lantas menuju mimpi beriring gumam)…(!?)
Bayangkan seandainya tiupan itu memang benar berpindah sungguhan dari ruang lingkup keterbatasannya, secara fisik dan non-fisik…, dan bukan dalam cirinya yang terkini sebagai citra mental belaka yang begitu mengusik…(!?)
Bayangkan bagaimana itu nyata, bukan maya…
Bayangkan cara sinema menghadirkannya, bukan opera sabun televisi yang mengindahkannya…
Selamat datang di belantara kuratorial, … [Ah, saya tak perlu menyebut nama…] !
*
Teks di atas baru saya selesaikan pukul 11:29 am di bawah terik di Kelapadua. Eh, sudahkah Pascal tahu kalau kepala saya sekarang seperti Ikkyū-san…?
*
Teks ini baru saya terbitkan pukul 06:14 pm, di tengah proses membuat garis, garis, dan garis lagi…
Menuju gudang untuk meredam usikan itu, atau mendengarkan lewat jaringan tanpa gelombang…, jawabannya dikembalikan kepada kebebasan yang malah mengaburkan hasrat.
“Nashar melakukan itu dua tahun, setiap hari!” seru UTM, melihat garis-garis di lembaran kertas saya. “Bisa ngga lu mengalahkannya, lebih lima hari saja…? Kalau bisa begitu, baru….”
“Tapi dia melakukannya tanpa melihat-lihat HP,” ujar UTM lagi, sambil berlalu. ***
Leave a Reply