Manusia memilah hati yang basah
dari setumpuk resah
untuk digantungkan
pada tiang ketenangan;
lantas membelah lidah
dengan sebilah luka
untuk melempar bukan semata
kelumit kata, yang pedih
tak jarang perih
sedangkan citra berkandung
tiga babak yang murung
dicerap lewat rundung
terhadap cinta yang dibumbung
ke telapak yang enggan menampung
Bertepuklah ia sebelah tangan
Mereka yang berkias apokalupsis
untuk masalah kontemporer psikis
menuduh kita sinis,
“Melayu yang suka mendayu…!”
Oh, sementara sang Marlina dielu-puja
di rimba status yang juga mencela
—lewat canda—
negeri para bedebah dan Eliana,
daun yang jatuh tak pernah membenci
angin; yang berubah jadi bumerang bagi
arogansi yang menyulap hasrat citrawi
menjadi untaian cinta masa kini
yang bersirkulasi ke dalam arus ekonomi!
Tapi daun agaknya akan mencaci,
balaslah ia dengan sebuah lagu OK Go:
“And if it takes forever, forever it’ll be.”
Manusia mengasah hati yang tumpul
dibentur dalam gumul
dibilah hasrat di atas pinggul
Jantung kilau itu kini
bukan dipahat risau lagi
karena sumpah serapah
tak ‘kan bisa membarakan api sejarah
Sayatan lidah berganti
sentuhan jari yang mencari
gambar-gambar molek berkuotasi
hingga memicu polemik basi
yang kelak dirundung duga di sana-sini
Kita pun akhirnya lupa
untuk apa cinta itu ada
Citra memesona
yang dekat dengan mimpi manusia,
begitu lucu dalam wacana
empat babak cerita
Karena rivalitas tanpa henti
antara perempuan dan laki-laki
membutuhkan begitu banyak segi
Sadarkan kita saat ini
sedang merayakan ironi?
Manshur Zikri
Jakarta, 26 Desember 2017