Apakah yang akan kita bicarakan kemudian
saat ruang tak lagi jadi tujuan pencarian,
perombakan, perbincangan,
dan pemikiran?
Adakah yang setelahnya?
Dan ketika ruang dibicarakan,
benarkah ia hadir di lidah kita
beserta dengan isi-isinya?
Padahal, dalam ruang yang dipecahkan itu,
tergores spekulasi tentang demensia;
tentang perubahan yang tak terkira
perubahan yang membuka
garis-garis baru
bagi pemahaman
langgas
Apa setelah ruang?
Bertanyakah kita tanpa jawaban?
Selesaikah, sudah, ruang?
Apa yang dilempar dan dibiarkan bernyanyi
itu baru saja menunjukkan bahwa ruang
memasuki fase infinitasnya
Adakah pertanyaan kita
tentang situasi pascaruang
hanyalah suatu pelarian
atau sekadar peredam
sendawa kegagapan budaya
kontemporer puber belaka…?
Yang jelas, ruang mengandaikan
kolektivitas, sedang kolektivitas
belum tuntas dan bernas
Kolektivitias kita masih berjiwa individu
karena jalan pintas masih jadi pilihan
yang diselimuti oleh retorika
penyadaran dan antipusat
antimenara gading, tapi tetap
bersilutut dan berpangku tangan
dalam kemanjaan anak kecil
hingga batu-batu semakin bersitumpuk
untuk perlu dilompati
dengan kegegaran gaya masa kini.
Gurihkah artsy
yang hendak
kita kunyah
itu?!
Manshur Zikri
London, 7 Juni 2018