Pada yang profan kita menakar mimpi
tatkala senandung si muadzin tetangga
mendayu dari balik tembok lembab itu;
Sedang situs-situs yang saling terhubung
di atas layar supra belum juga berikan kepastian
tentang apa yang semestinya kita tolak dari sendu
Entah berapa segi doa itu mereka panjatkan
di antara jejaring kata yang menyapa tangan-tangan
manusia yang kian melebur ke dalam gerak-gerak kecil
di lingkup jemari nan kian tumpul;
Sedang siulku, siulmu, tak jua menyatu
di sepanjang garis takdir kemanusiaan
yang menjeritkan peristiwa pada seluas potongan kuku
Tempurung lututku adalah belahan dunia;
dunia cita-cita yang diseret beban-beban mengambang,
yang menuntut keputusan diri di perlintasan generasi.
Adakah mungkin sekarang kujampikan mesiu
sebagai butir yang melekat di jantung kota
dan kata
demi menjadi sejarah?
“Konyol…!” kata mereka.
Bukankah Dada telah menulis surat kepada yang sehari-hari,
bahwa hasrat untuk melayang ke alam tak terjamah
dalam situasi kemabukan, adalah kesia-siaan?
Kau dan aku justru diminta untuk mencair
di lingkaran rumahan, kantoran, dan meja-meja
yang dua puluh empat jam menyalakan rupa algoritma
semesta yang tak lagi bisa kita sentuh.
Tapi, kepada yang profan juga, akhirnya,
kita tetap menakar mimpi-mimpi.
Manshur Zikri
Jakarta, 9 Mei 2019