Sayup-sayup kumandang berbahasa lokal mengganggu yang tidur
maka jalan sepanjang lima menit rekaman bunyi digital
akan membentang menganga menutup lubang napas hidung kami,
karena sendal jepit mereka akan berdecit di atas aspal
untuk membeli sebungkus nasi padang
Di dekat portal yang diterangi cahaya temaram,
tiga-empat lelaki tua masih menghisap kretek mereka yang tersisa
dan akan bertanya padamu tentang apa yang hendak kau beli.
Tapi, ia yang berceloteh melalui toa di balik kubah itu
tak mau tahu, asal kau tetap ikut berjalan mencari makan
sebelum fajar mendorong bahasa asing diperdengarkan.
Toa-toa bukanlah kesalahan.
Sejarah yang melompat-lompat yang menjadikannya demikian.
Pada saat daging cokelat bertabur minyak-minyak kental
dipijat-pijat jemari kanan, jemari kirimu akan mengelus
tombol-tombol cahaya yang mengalienasi kenikmatan lidahmu
dari aroma kunyit bercampur tomat dan bawang.
Sementara kumandang dari seberang jalan kian bertalu-talu kencang,
gubuk komersil yang kau gemari sepanjang siang
akan dihampiri bukan hanya oleh dirimu seorang.
Ambang fajar tidak lagi menjadi ruang kontemplasi
karena kunang-kunang telah bersembunyi ke balik semak belukar—
gulma-gulma yang bisa digapai hanya dengan melompati sejumlah trotoar retak.
Mengingatkanku pada gemuruh mesin air
yang tak pernah lelah bernyanyi di samping kursiku
pada waktu-waktu aku berusaha menarik diri
dari layar-layar supra yang melaluinya kau
kini, sedang menyumpahi pesan-pesanku.
Manshur Zikri
Jakarta, 10 Mei 2019