Burung gereja merah
membelah langit-langit mulutku
dengan sayapnya yang patah;
menahan tetesan darah
yang melintasi tempurung lututmu
dari lubang tanpa luka merekah.
Di hadapan hentakan kaki
lelaki yang menari di balik dinding,
darah kotormu dihakimi
lisan-lisan tergeming
tatkala burung gereja merah
bersiasat di lingkaran awan lidahku
yang kelu akibat percikan darahmu
itu.
Rentang kaki burung gereja merah
merangsang bulu kudukku
untuk berkata: “Biarlah
kucing menelan emisi cahaya sirah
yang mengurat dari pangkal kuku-kukuku!”
Pada ruang-ruang yang diperantarai
kaca-kaca kemilau tersentuh sinar matahari
yang dari baliknya kulihat jari-jemari
tanganmu menggapai slogan kiwari,
terpampang bentuk patahan sayap
burung gereja merah yang meratap
karena lukamu penuh sebab-musabab
yang membuat dunia kita selalu tetap—
berkuasa atas tubuh-tubuh yang bisa luka tanpa disentuh.
Pada ruang-ruang yang diperantarai
kaca-kaca berwarna pengindah mimpi surgawi
yang dari atasnya kudengar gemuruh bumi
bersenandungkan memori-memori terberi,
paruh jinak burung itu terpapar
narasi sejarah yang ditukar
dengan pandangan-pandangan vulgar
para penari kekar.
Manshur Zikri
Jakarta, 21 Juni 2019