Air yang jatuh dari moncong dispenser dapurnya
memenuhi gelas putih yang kupilih tak lebih dari tujuh belas detik.
Di gelas itu tertulis kata “Kementerian Perdagangan”.
Air yang jatuh ke dalam gelas itu kutenggak seraya mengerling ke kiri,
memperhatikan lekuk tubuhnya yang tertelungkup,
masih bermandi berkeringat, dengan napas tersengal-sengal
Ruang kelabu otakku melayang ke sebuah meja
yang dikerumuni orang-orang melingkar.
Mereka hanya berjumlah sembilan orang, yang seharusnya sepuluh
karena satu yang lain telah memilih untuk bekeluarga
bersama seorang perawan yang menguntit dengan menjinjing seekor simpanse.
Kami bukan usai bersenggama; keringat itu adalah jawaban bagi hujan.
Sedari kemarin, lubang atap yang berusaha ia paku itu
menelan sukma yang kami punya untuk menyapa surga.
Rerintik kemarin malah bergerak melawan arus gravitasi,
begitu pula dengan keringatnya, kini, yang mulai melayang-layang
membentuk butiran air di udara.
Sorotan cahaya yang menghantam rambutnya itu
menembus butiran-butiran air di udara yang kusebut tadi
hingga menciptakan biasan-biasan warna.
Biasan yang melambungkan ingatanku dari meja itu
ke sebuah penampakan air mancur di tengah kota,
menyapa bocah-bocah yang melambai-lambaikan tangan ke langit
karena melihat Jean berlari menggiring bola sepak.
“Tega, kau, mengingkari persetubuhan kita!?” katanya.
Katanya di dalam ruang kelabuku.
Tanpa basa-basi, kutekan lebih kencang tombol mesin dispenser dapurnya
agar memenuhi gelas “Kementerian Perdagangan” kurang dari lima detik;
dan tanpa basa-basi, kurebahkan diriku di sampingnya.
Ia mendongak dan menelentangkan sehelai rambutnya di atas kelopak mataku.
Manshur Zikri
Jakarta, 10 Mei 2019